Sabtu, 24 Juni 2023, mendapat amanah membersamai Pembukaan Rapat Kerja Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al-Mufidah, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Tema yang panitia amanahkan adalah Syakshiyyah Murabbiyah yang kemudian saya terjemahkan menjadi Karakter Pendidik Sejati.
Raker ini diikuti oleh seluruh Ustadz dan Ustadzah di SIT Al-Mufidah mulai dari Tapas, KBIT, TKIT, hingga SDIT Al Mufidah. Pembukaan Raker juga dihadiri oleh Pengurus Yayasan dan Komite.
Satu jam lebih kami membahas dan mendiskusikan Karakter Pendidik Sejati. Antusiasme Ustadz dan Ustadzah SIT Al-Mufidah membawa semangat tersendiri. Mendidik siswa selama bertahun-tahun telah mengkayakan mereka dengan banyak pengalaman di medan pendidikan.
Lalu apa saja karakter pendidik sejati yang kami diskusikan? Setidaknya ada lima.
1. Ikhlas
Ikhlas adalah karakter utama yang harus ada pada seorang pendidik. Bahwa ia mendidik dengan niat lillahi ta’ala. Yang ia tuju adalah ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika seorang pendidik ikhlas, maka ilmunya akan mudah masuk ke hati muridnya. Menjadi ilmu bermanfaat yang diamalkan dan menghasilkan takwa. Sebagaimana susu murni yang bersih dari kotoran dan darah, mudah diminum para peminumnya sekaligus menjadi nutrisi yang bergizi.
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya. (QS. An-Nahl: 66)
Imam Ghazali merupakan salah satu ulama yang sangat perhatian terhadap keikhlasan. Ketika awal mencari ilmu, ia telah mengalami pengalaman spiritual yang membuatnya menyimpulkan bahwa ilmu agama itu hanya bisa diraih dengan keikhlasan. Lalu ketika berada di puncak popularitas sebagai ulama, ia meninggalkan jabatan dan fasilitas negara untuk berkhalwat dan memperbaiki keikhlasan. Beberapa tahun kemudian ia baru kembali dengan hati yang lebih suci. Tanpa jabatan tetapi pengaruh ilmunya semakin luas ke seluruh dunia. Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya hasil perenungannya.
Selain itu, ikhlas merupakan amal hati yang terpenting dan syarat diterimanya amal. Ikhlas juga merupakan benteng dari bujukan setan, melahirkan kekuatan ruhiyah, dan meningkatkan produktivitas.
2. Menjadi Teladan (Qudwah)
Seorang pendidik harus menjadi teladan (qudwah) bagi para muridnya. Sebab satu keteladanan lebih berpengaruh daripada seribu kata-kata.
Imam Hasan Al-Bashri menunjukkan betapa hebatnya keteladanan. Sutau hari, sejumlah budak memintanya untuk menyampaikan keutamaan memerdekakan budak. Hasan Al-Bahsri menyanggupi.
Hari Jum’at, mereka duduk di shaf terdepan. Mata mereka berbinar-binar menyimak kata demi kata khutbah Jumat Sang Imam. Penuh harapan bahwa sore nanti status mereka sudah berubah menjadi manusia merdeka. Namun, hingga khutbah selesai, Hasan Al-Bashri tidak juga menyampaikan keutamaan memerdekakan budak dalam khutbahnya.
Jum’at berikutnya juga sama. Mereka antusias di shaf pertama. Namun, kembai kecewa karena Hasan Al-Bashri tidak juga menyampaikan keutamaan memerdekakan budak dalam khutbahnya.
“Imam, tadi kami menyimak khutbah dan belum mendengar keutamaan memerdekakan budak.” Mereka protes kepada Hasan Al-Bashri.
“Bersabarlah. Saya menunggu waktu yang tepat.”
Jum’at depannya, belum juga harapan mereka terpenuhi. Hingga Jum’at depannya lagi, barulah Hasan Al-Bashri menyampaikan keutamaan memerdekakan budak dalam khutbahnya. Usai shalat Jum’at, mereka menghadap Sang Imam.
“Wahai Imam, khutbahmu terlambat. Kemarin sore, tuan-tuan kami telah memerdekakan kami.”
“Wahai saudaraku,” kata Hasan Al-Bashri dengan penuh ketenangan. “Sesungguhnya sejak awal aku ingin segera menyampaikan keutamaan memerdekakan budak. Namun, aku belum mengamalkan amal ini. Maka, aku menabung dulu untuk beli budak. Baru beberapa hari lalu terkumpul cukup uang hingga aku bisa membeli budak kemudian aku memerdekannya.”
Mereka akhirnya sadar, tuan-tuan mereka memerdekakan mereka setelah mengetahui Hasan Al-Bashri memerdekakn budak yang baru ia beli.
Hasan Al Bashri dan para ulama tahu persis efektifitas keteladanan. Lebih dari itu, mereka tidak mau terkena ancaman Allah dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaf: 2-3)
3. Sabar
Seorang pendidik harus sabar. Yang ia hadapi adalah murid dengan berbagai kondisi dan beragam latar belakang. Ada yang lambat belajar (slow learner), ada yang menjengkelkan. Sabarlah menghadapi mereka semua karena bisa jadi di antara mereka ada yang kelak menarik tangan kita menuju surga. Sabarlah karena orang-orang yang sabar akan mendapatkan pahala tanpa batas dan cinta-Nya.
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.. (QS. Ali-Imran: 146)
Imam Syafi’i pernah memiliki murid yang lamban belajar. Namanya Rabi’ bin Sulaiman. Ketika murid yang lain langsung paham, Rabi’ belum paham-paham meskipun Imam Syafi’i menerangkan belasan kali. Namun, beliau tetap sabar. Tidak sekali pun marah apalagi mengatainya bodoh.
“Rabi’, maafkan aku. Sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika engkau masih belum paham juga, berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu,” kata Imam Syafi’i kepada Rabi’ bin Sulaiman.
Sungguh indah nasihat KH Maimun Zubair untuk para pendidik. “Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya. Namun hadirkanlah gambaran bahwa di antara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga.”
4. Mendoakan
Pendidik sejati akan selalu berusaha mendoakan muridnya. Sebab ia tahu bahwa Allah-lah yang menggenggam hati murid-muridnya. Hanya Allah yang kuasa mengubah dan memperbaiki mereka. Termasuk menurunkan ilmu ke dalam hati mereka.
Tak hanya menyuruh Rabi’ berdoa, Imam Syafi’i juga mendoakan Rabi’ bin Sulaiman. Berkah kesabaran gurunya, kesungguhannya berdoa dan doa gurunya, Rabi’ menjadi cerdas akalnya dan kuat hafalannya. Beberapa tahun kemudian, Rabi’ bin Sulaiman menjadi salah satu ulama besar madzhab Syafi’i.
Kitab Ar-Risalah yang kita kenal sebagai salah satu karya monumental Imam Syafi’i dan menjadi kitab pertama yang meletakkan pondasi ushul fiqih, Rabi’ bin Sulaiman-lah yang menulisnya. Memang itu karya Imam Syafi’i, ucapan-ucapan Imam Syafi’i, tetapi Rabi’ bin Sulaiman yang menulis dengan tulisan tangannya.
Kisah lain terjadi di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo. Seorang santri yang tadinya terkenal nakal, berubah menjadi shalih dan menjadi kiai setelah didoakan oleh pengasuh pesantren tersebut. Kisahnya bisa dibaca di artikel Masihkah Ada Wajah Mereka dalam Doa Rabithah Kita?
5. Terus Belajar
Seorang pendidik sejati akan terus belajar dan berusaha menambah ilmunya. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang ia miliki saat ini, apalagi merasa sempurna. Sebab ketika seseorang merasa sempurna, saat itu ia berhenti bertumbuh. Stagnan. Bahkan bisa takabur; menolak kebenaran dan meremehkan orang.
Pendidik sejati akan terus belajar. Dengan demikian, ia akan terus bertumbuh dan muridnya pun bisa mendapatkan yang lebih baik dari ilmunya yang terus berkembang. Lebih dari itu, ia telah memenuhi seruan Ilahi menjadi generasi rabbani.
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُون
… Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali-Imran: 79)
Maka, pendidik sejati tak akan pernah lelah untuk belajar kepada para ulama dan ahli ilmu lainnya. Ia mengikuti berbagai pelatihan bahkan melanjutkan pendidikan. Yang tak kalah penting, ia akan banyak membaca khususnya buku-buku karya para ulama dan tokoh-tokoh sesuai bidangnya. [Muchlisin BK]