“Ada peserta yang datang naik sepeda!” Seorang panitia mengabarkan kepada kami dengan penuh antusias. Umumnya, santri-santri peserta Lomba Baca Kitab Kuning (LBKK) memang diantar oleh pengasuh atau pendamping. Sebagiannya dengan mobil pesantren masing-masing.
“Dari PPS, Gresik.”
Saya yang semula menganggap biasa karena mengira peserta itu dari Lamongan kota, sekarang merasa ini hal luar biasa. Dari PPS ke Kantor DPD PKS Lamongan, tempat LBKK ini, jaraknya sekitar 30 Km.
Saat tiba di lokasi, kaos santri tersebut tampak basah. Tubuhnya bermandikan keringat tetapi wajahnya memancarkan semangat. Di tangannya, ada kantong plastik berisikan pakaian ganti. Sesaat kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan kopyah hitam dan gamis yang rapi.
“Faiz Ali,” ia menyebut nama saat kami berkenalan. Baru empat bulan tinggal di Gresik. Sebelumnya, mondok di Pesantren Banyuanyar. Mendengar nama Pesantren Banyuanyar, kami langsung klik. Banyak teman-teman yang mondok di sana.
“Tadi dari PPS naik sepeda?” Rasa penasaran saya tak tertahankan.
“Iya, punyanya itu.” Jawabnya sederhana. Namun, mengisyaratkan kesungguhan dan kebersahajaan. Dua karakter ulama yang membuat ilmu melekat dalam jiwa dan mencapai derajat mulia.
Hakikat Mastatho’tum
Nggowes dari PPS ke Lamongan Kota yang Faiz lakukan demi mengikuti LBKK menunjukkan kesungguhan yang luar biasa. Saya sendiri merasa malu karena kesungguhan saya tidak sebesar itu. Kita sering kali memaklumi diri sendiri dengan alasan mastatho’um dan la yukallifullahu nafsan illa wus’aha.
Ikhtiar kita tidak optimal, kesungguhan kita masih setengah-setengah, tetapi kita beralasan “sesuai kemampuan” karena “Allah tidak membebani di luar kesangguhan hamba-Nya.” Padahal, kemampuan kita bisa lebih dari itu.
Maka, sering kita dapati, amanah tidak tertunaikan dengan alasan yang sama. Perjuangan tidak berhasil karena alasan serupa. “Ya, kemampuan saya hanya segini. Allah tidak membebani melebihi kemampuan hamba-Nya.”
Pernah murid Syekh Abdullah Azzam bertanya tentang makna mastatho’tum. Karena dalam Al-Qur’an ada dua perintah dengan diikuti mastatho’tum. Yakni perintah dalam bertaqwa dan perintah dalam berjuang.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu … (QS. At Taghabun: 16)
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … (QS. Al-Anfal: 60)
Doktor Ushul Fiqih itu kemudian menyuruh murid-muridnya untuk lari mengelilingi lapangan. Ada yang berhenti pada putaran ketiga. Ada yang berhenti pada putaran keempat. Tidak ada yang sampai sepuluh putaran mengelilingi lapangan luas itu.
“Sekarang giliran saya.” Kata Syekh Abdullah Azzam setelah seluruh muridnya berhenti berlari. Beliau berlari mengelilingi lapangan. Satu putaran, dua putaran, tiga putaran, … sepuluh putaran … seluruh muridnya terkagum-kagum. Sang Syekh yang usianya lebih tua dari mereka terus berlari. Mulai ngos-ngosan saat belasan putaran, tetapi terus berlari. Dua puluh putaran terlampaui, beliau terus berlari. Murid-muridnya mulai khawatir saat Sang Syekh terus berlari dan gerakannya melamban. Lalu, tubuh yang bermandi peluh itu pun terjatuh. Pingsan.
Dengan penuh kekhawatiran, mereka bergegas menghampiri Syekh Abdullah Azzam. Namun, saat terbangun, kalimat pertama membuat mereka semua malu. “Inilah mastaho’tum.”
Teladan Mastatho’tum
Ketika usianya telah senja, Abu Ayyub Al-Anshari mendengar bahwa kaum muslimin akan berangkat berjihad menuju Konstantinopel. Khalifah Yazid bin Muawwiyah mengirim pasukan dalam rangka mengejar hadits Nabi:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
Konstantinopel akan dibebaskan. Maka, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang membebaskan Konstantinopel dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan pembebas Konstantinopel. (HR. Ahmad)
“Siapkan perbekalanku!” Kata Abu Ayyub Al-Anshari kepada anak-anaknya.
“Ayah, engkau telah banyak berperang bersama Rasulullah. Sekarang, engkau di rumah saja. Biar kami saja yang berangkat. Usiamu telah tua, kakimu juga tidak sempurna, engkau punya udzur syar’i.”
Mendengar itu, Abu Ayyub bukannya mengalah, ia justru mempertegas nadanya. “Siapkan perbekalanku! Infiru khifafan wa tsiqalan. Berangkatlah berjihad baik dalam kondisi ringan atau berat. Ringan bagi kalian, berat itu bagiku.”
Akhirnya, Abu Ayyub pun berangkat. Di tengah perjalanan, beliau sakit dan berwasiat dimakamkan terdekat mungkin dengan Konstantinopel. Delapan abad kemudian, saat Muhammad Al-Fatih hampir putus asa karena sudah 40 hari menggempur Kontantinopel tetapi benteng kota itu masih kokoh berdiri, Syekh Aaq Syamsuddin mengajaknya mencari makam Abu Ayyub Al-Anshari.
Setelah menemukan makam sahabat Nabi ini, Syekh Aaq Syamsuddin menceritakan kisah semangat perjuangan Abu Ayyub Al-Anshari. “Sultan, saat itu Abu Ayyub Al-Anshari usianya telah senja, kakinya cacat, tetapi ia berhasil sampai sejauh ini dengan kesungguhannya dalam berjuang. Sedangkan engkau masih muda, sehat, kuat, memiliki ratusan ribu pasukan. Percayalah, engkaulah yang Rasulullah maksudkan sebagai pemimpin terbaik yang berhasil membebaskan Kontantinopel.”
Seketika, semangat Muhammad Al-Fatih mengangkasa. Ia mendapatkan motivasi dan inspirasi untuk mengejar derajat terbaik yang Rasulullah sabdakan. Maka, tercatatlah dalam tinta emas sejarah bagaimana strategi brilian menyeberangkan kapal melalui bukit. Hingga pada 29 Mei 1453, Muhammad Al-Fatih berhasil membebaskan Konstantinopel.
Tidakkah kita termotivasi dengan Abu Ayyub Al-Anshari sebagaimana Muhammad Al-Fatih termotivasi? Tidakkah setelah ini kita mengubah mindset kita tentang mastatho’tum dan memberikan batas yang baru untuk kemampuan kita?
Kembali kepada Faiz Ali. Di akhir lomba, ia memang belum masuk tiga besar juara. Namun, ia telah menjadi juara di hari panitia. Semoga kesungguhannya berbuah berkah yang membawanya menjadi ulama. Dan semoga kesungguhannya mengingatkan kita untuk meningkatkan batas mastatho’tum dalam berjuang di jalan-Nya. [Muchlisin BK]