Dia tidak terlalu peduli dengan penilaian orang. Hidup apa adanya menjadi orang biasa. Ia tidak terobsesi menjadi orang yang terkenal. Ia juga tidak terlalu peduli apakah kehadirannya dirindukan atau diabaikan. Tidak masalah jika adanya atau ketiadaannya sama saja bagi banyak orang.
Seperti hari itu. Ia datang terlambat ke majelis ilmu di Masjid Nabawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memulai majelisnya ketika ia datang dengan wajah yang masih basah oleh air wudhu. Dengan menenteng terompah, ia masuk ke majelis itu. Saat itulah, satu dua orang menoleh memperhatikannya.
Hari kedua, ia tetap bersikap apa adanya. Karena satu lain hal, ia kembali terlambat menghadiri majelis Nabi. Dan kejadiannya persis seperti hari sebelumnya; ia masuk dengan menenteng terompah, wajahnya masih basah. Bedanya kali ini, lebih banyak orang menoleh kepadanya.
Hari ketiga, kejadiannya juga hampir sama. Bedanya, lebih banyak lagi orang yang menoleh memperhatikan dirinya. Lalu saat majelis ilmu itu selesai, seseorang menghampirinya. Meminta izin menginap di rumahnya selama tiga hari. Ia tak keberatan.
Abdullah bin Amr bin Ash, nama tamu itu. Kendati di rumahnya bertamu salah seorang sahabat yang terkenal sebagai ahli ilmu, ia tetap biasa. Tidak kemudian membagus-baguskan ibadahnya sebagai bentuk pencitraan. Tidak juga membungkus diri dengan topeng kepura-puraan.
Setelah berlalu tiga hari sebagaimana rencana semula, Abdullah bin Amr berpamitan. Kali ini, Abdullah berterus terang bahwa tujuannya menginap adalah untuk melihat apa amal rahasia laki-laki itu sehingga Rasulullah mengabarkan bahwa ia adalah ahli surga. Abdullah penasaran, amal istimewa apa yang membuat orang di hadapannya itu mendapat jaminan masuk surga. Padahal shalatnya biasa, bahkan tidak terlihat tahajudnya. Pun tilawah, tak terlihat luar biasa.
“Demikianlah amal-amalku. Seperti yang engkau lihat sendiri. Tidak ada yang istimewa. Namun, ada satu hal yang mungkin engkau tidak tahu.”
“Apa itu?”
“Aku tidak memiliki dendam kepada seorang muslim pun. Aku juga tidak hasad (iri hati) kepada mereka.” Abdullah bin Amr ingat bahwa laki-laki tersebut komat kamit membaca dzikir sebelum tidur. Pun saat terjaga lalu hendak tidur lagi. Rupanya ia mengingat Allah dan bermuhasabah, memaafkan semua orang.
“Inilah amal istimewa yang bahkan kami belum mampu melakukannya.”
Laki-laki itu memilih menjadi orang biasa. Ia tidak peduli dengan penilaian manusia, yang ia pedulikan hanya penilaian Allah Ta’ala. Ia tidak peduli dengan pengakuan manusia, ia lebih memilih menjaga hati agar Allah rida kepadanya. Dengan jalan itu, hidupnya bahagia. Dan Rasulullah menjamin surga untuknya.
Tentu jika kita seorang pemimpin, tidak harus meninggalkan peran saat ini demi menjadi orang biasa. Karena intinya bukan itu. Intinya adalah bagaimana menjaga kebersihan hati. Sebab itulah kunci bahagia di dunia dan akhirat. Bukankah mayoritas Rasul adalah orang-orang yang terkenal di bumi sekaligus di langit? Mereka pemimpin di dunia sekaligus di surga.
Namun, jika harus memilih menjadi orang biasa di bumi tetapi istimewa di langit atau orang terkenal di bumi tetapi “tak dikenal” di langit, jangan ragu menjadi orang pertama. Apa arti penilaian manusia dibandingkan dengan kebahagiaan kita di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat nanti? Jaga kebersihan hati, agar kita mampu merasakan keduanya. Sebagaimana nasihat seorang ulama, “Di dunia ini ada surga. Siapa yang tidak bisa memasukinya, ia juga tidak bisa memasuki surga di akhirat kelak. Surga dunia itu adalah manisnya iman, kebahagiaan dalam ketaatan.” [Muchlisin BK]